Meretas Badai Lebih Sehat Jika Menulis -part 1 (Review Buku)
Hai Sobat Curhat..
Saat Work From Home (WFH) saya jadi makin rajin beberes rumah. Ada saja yang dikerjakan. Setelah meeting dengan rekan-rekan kerja melalui aplikasi Zoom, pasti saya selalu mencari kesibukan dengan membereskan apa saja yang bisa jadi Target Operasi (TO), seperti kali ini rak buku di kamar.
Duh sobat curhat, malu deh kalau lihat rak buku tercinta. Isinya sudah amburadul karena sebenarnya sudah over quota. Belum lagi yang tergeletak di lantai dekat rak. Maklum terlupakan karena padatnya aktivitas di kantor, di kampus dan di rumah.
Nah saat saya merapikan deretan buku di rak itulah, saya menemukan buku lama karangan Ratna Dewi Pudiastuti yang berjudul Meretas Badai Lebih Sehat Jika Menulis. Buku ini sangat inspiratif.
Meretas Badai Lebih Sehat Jika Menulis
Sobat Curhat,
Buku yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh Penerbt PT Elex Media Komputindo yang terdiri atas 178 halaman ini terdiri atas 8 (delapan) Bab. Dari judul memang sudah menarik karena memancing kata tanya dalam benak dan hati kita dan mencari tahu apakah benar dengan menulis kita menjadi lebih sehat?
Baca juga: Cara menjadi penulis CAS
Sayangnya cover buku ini masih biasa saja, menurut saya kurang menarik. Penyajian sub bagian dalam setiap bab masih belum diatur secara menarik dan belum dilengkapi dengan foto atau gambar untuk membuat buku ini lebih hidup, dimana buku ini bercerita mengenai kisah hidup seseorang.
Bab Pertama
Berjudul Menulis dengan keterbatasan terdiri atas 19 (Sembilan belas) kisah penulis yang memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun karena penyakit yang kronis. Ada yang terkena Tumor, Selaput Radang Otak, Hepatitis, Penyakit Lupus, Thalasemia ataupun kehilangan Tangan kiri.
Penulis yang bernama Etty Hadiwati Arief yang lebih dikenal dengan Pipiet Senja. Siapa yang tidak mengenai Pipiet Senja? Penulis kawakan dengan segudang karya ! Terlahir dengan sakit Thalasemia tidak membuatnya menyerah dalam menghadapi kehidupan ini.
Justru beliau merasa hikmah terbesar yang menjadi kekuatan beliau adalah karena Thalasemianya beliau bisa menjadi seorang penulis. Saat menunggu waktu tranfusi darahpun beliau masih menulis Tak kenal lelah menuju RSCM dengan naik Kereta Api dari stasiun Depok setiap dua minggu sekali, tidak menyurutkan semangat beliau untuk berobat dan menulis.
Baca juga: Jungkir Balik Moment
Kisah lain yaitu kisah Asmarani Rosalba atau biasa kita kenal dengan Asma Nadia. Hayo Sobat Curhat, siapa yang tidak mengenai mbak Asma Nadia? Tidak banyak yang tahu bila mbak Asma Nadia memiliki sakit komplikasi Paru-Paru, Geger Otak, Lemah Jantung dan Tumor.
Dalam buku ini disebutkan sakit komplikasi yang diderita mbak Asma Nadia, tidak mampu menghentikan tekad mbak Asma Nadia untuk tetap menjadi penulis karena menulis mampu memberikan motivasi bagi orang lain. Dengan menulis hidupnya menjadi bergairah dan penyakit komplikasi yang dideritanya seakan hilang dengan sendirinya.
Bab kedua
Pada bab kedua buku ini diberi judul Berbagai cara menulis, terdiri atas 7 (tujuh) kisah tentang bagaimana para penulis menuangkan buah pikiran mereka. Ada penulis yang menuliskan menggunakan bibir, bahasa isyarat, ada yang dengan huruf braille, ada pula menulis tanpa tangan dan kaki, ada yang menulis dengan kaki, ada yang menggunakan jari kaki kiri dan ada yang menggunakan bahasa isyarat kedipan mata. Beragam cara mereka menuangkan ide/gagasan atau buah pikirannya benar-benar mampu memotivasi orang lain
Sebut saja Wang Qianjin yang menuis novel dengan menggunakan bibir. Seorang gadis berusia 18 tahun asal Zhenjiang, Tiongkok bagian timur adalah penderita lumpuh otak yang mengakibatkannya sulit berkomunikasi. Namun keadaan itu tidak menghentikan mimpinya untuk menjadi seorang penulis (butiran bening saya langsung berjatuhan. Terharu saya!).
Wang Qianjin mengandalkan gerak bibirnya untuk menulis huruf demi huruf di layar komputer hingga akhrnya novelnya selesai dan terbit.
Hikmah yang dapat kita ambil dengan membaca Bab pertama dan kedua adalah semangat yang tak pernah padam dari para penulis yang bila kita melakukan kontemplasi maka kita akan mendapatkan betapa bersyukurnya kita dengan segala hal yang kita miliki saat ini. Ketika mereka bisa berdamai dengan masalah mereja mengapa kita tidak bisa?.
Bab ketiga
Judul bab ketiga Tujuan Menulis, penulis menguraikan 17 (tujuh belas) tujuan dalam menulis. Penasaran dengan 17 (tujuh belas) tujuan menulis?
Nantikan kelanjutannya pada tulisan review part 2 (di Sabtu depan ya).
saya baru tahu kalau para punggawa besar itu memiliki penyakit kronis, jd semakin penasaran dengan bukunya… ditunggu part 2 nya
Tidak ada yg sempurna dlm hdp ini mbak ata. Hikmahnya kita bisa belajar bagaimana menjadikan kelemahan kita mwnjadi kelebihan kita. Trims buat supportnya. Ditunggu ya 😍😍